Kamis, 25 September 2014

MEMAHAMI BERBAGAI ASPEK
 BERCERITA

DALAM KETERAMPILAN BERBICARA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Berbicara





    Disusun oleh :
             1.        Wiwit Supriyanti        A310130151
             2.        Fitri Yulianti               A310130155
                     Kelas     : 1 D



Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tahun 2013



KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah segala puji syukur hanya kita panjatkan kehadirat Allah Swt atas kekuatan, kesempatan, kesehatan dan limpahan nikmat lainnya yang telah diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan  Makalah ini dengan judul “Memahami Berbagai Aspek Bercerita dalam Keterampilan Berbicara”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Teori Berbicara di tahun pembelajaran 2013-2014 Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan harapan dapat bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.
    Kami menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan, seperti pepatah mengatakan “Tiada Gading Yang Tak Retak”, oleh karena itu kami sangat  mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak pembaca.
    Akhirnya kami berharap, semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca atau pihak yang membutuhkan.


                                                                              Surakarta, 27 September 2013


                                                                              Penulis









i


DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar …………………............………………..……………………     i
Daftar Isi…………………………………………………...………….............    ii

BAB I  PENDAHULUAN……............…………………………..…..……….    1
            A.   Latar Belakang……………….…..…………………………..….....    1
            B.   Rumusan Masalah…………………...……...………….…….........     1
            C.   Tujuan.............................................................................................      2

BAB II     PEMBAHASAN……........…………………………….………......     3
A.   Hakikat Bercerita....………………………………..……….......     3
B.   Teknik Bercerita.…………………………………..….………...    4
C.   Jenis Bercerita…...……………………………..….…......……..     5
D.   Media Bercerita……………………………………....……..........  10
E.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bercerita.................................  10
F.   Indikator dalam Penilaian Bercerita................................................  12

BAB III   KESIMPULAN…………………………….………….........…........  14

Daftar Pustaka......................................................................................................  15
Lampiran..............................................................................................................  16






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Cerita merupakan suatu media yang sangat digemari oleh berbagai kalangan di Indonesia. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua, senang sekali mendengarkan cerita. Cerita yang sering didengarkan adalah cerita-cerita yang menarik dan pada umumnya tidak membosankan. Cerita dapat ditemukan di mana saja, misalnya saat mengikuti ceramah atau kultum yang dibawakan oleh seorang ustadz di masjid, kemudian cerita saat mengikuti kegiatan kemahasiswaan, dan lain sebagainya. Adapun, cerita tersebut dapat menambah wawasan, pengalaman, dan ilmu pengetahuan.
Sebagian orang beranggapan bahwa dalam membawakan sebuah cerita harus dituntut untuk mahir melakukannya. Dalam konteks ini tidak harus seseorang itu pandai dalam bercerita dengan menggunakan teknik-teknik, media dan metode tertentu. Tetapi harus mulai belajar dari awal bagaimana membawakan cerita yang baik dan menarik sampai dapat mahir melakukannya.
Bercerita merupakan salah satu kebiasaan masyarakat sejak dahulu sampai sekarang. Adapun alasan yang mendorong untuk mulai mengasah kemampuan dalam bercerita menurut pendapat Tim Pendongeng SPA Yogyakarta (2010:2) adalah kenyataan bahwa cerita merupakan media yang amat efektif untuk menyampaikan misi pendidikan yaitu menanamkan nilai-nilai moral ke dalam sanubari sang bocah. Untuk itu kita harus mencari metode dan media yang paling efektif dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai dengan tingkat usia mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan fantasi mereka yang berbeda-beda pada setiap usia mereka.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah teknik dalam membawakan cerita?
2.      Apa sajakah jenis-jenis cerita dan bagaimana cara pemilihan jenis cerita yang baik?
3.      Apa sajakah media yang diperlukan dalam bercerita?
4.      Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi dalam bercerita?
5.      Apakah sajakah indikator dalam penilaian bercerita?

C.   Tujuan
1.      Memahami teknik-teknik dalam penyampaian cerita.
2.      Memahami berbagai macam pemilihan jenis cerita.
3.      Memahami berbagai media dalam penyampaian cerita.
4.      Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi dalam bercerita.
5.      Memahami indikator-indikator dalam penilaian bercerita.











BAB II
PEMBAHASAN
A.   Hakikat Bercerita
Bercerita merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Artinya, dalam bercerita seseorang melibatkan pikiran, kesiapan mental, keberanian, perkataan yang jelas sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2001: 278), ada beberapa bentuk tugas kegiatan berbicara yang dapat dilatih untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan bercerita pada siswa, yaitu (1) bercerita berdasarkan gambar, (2) wawancara, (3) bercakap-cakap, (4) berpidato, (5) berdiskusi.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2001:289), bercerita merupakan salah satu bentuk tugas kemampuan berbicara yang bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan berbicara yang bersifat pragmatis. Ada dua unsur penting yang harus dikuasai siswa dalam bercerita yaitu linguistik dan unsur apa yang diceritakan. Ketepatan ucapan, tata bahasa, kosakata, kefasihan dan kelancaran, menggambarkan bahwa siswa memiliki kemampuan berbicara yang baik.
Tarigan (1981: 35) menyatakan bahwa bercerita merupakan salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain. Dikatakan demikian karena bercerita termasuk dalam situasi informatif yang ingin membuat pengertian-pengertian atau makna-makna menjadi jelas. Dengan bercerita, seseorang dapat menyampaikan berbagai macam cerita, ungkapan berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dibaca dan ungkapan kemauan dan keinginan membagikan pengalaman yang diperolehnya.
Seorang ahli psikologi pendidikan, Charles Buhler, mengemukakan bahwa anak hidup dalam alam khayal. Ia suka pada hal-hal yang fantastis, hal-hal yang jarang terjadi, yang membuat imajinasinya dapat ‘menari-nari’. Namun bagi anak hal-hal yang menarik itu berbeda pada setiap usia.
1.         Sampai pada usia 4 tahun, anak suka pada dongeng-dongeng yang menyeramkan, seperti: dongeng tentang anak nakal yang tersesat di hutan rimba, cerita tentang nenek sihir, orang jahat yang ingin mencelakakan anak kecil, raksasa yang mengerikan, dan sebagainya.
2.         Pada usia 4-8 tahun, anak-anak suka dongeng jenaka, tokoh-tokoh hero dan kisah-kisah tentang kecerdikan.
3.         Pada usia 8-12 tahun, anak-anak suka dongeng petualangan, fantasi rasional.
Dengan kata lain, bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam ungkapan, berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca.

B.   Teknik Bercerita
Dalam membawakan sebuah cerita, perlu diketahui beberapa teknik bercerita yang baik. Menurut Tim Pendongeng SPA Yogyakarta (2010:20) ada dua teknik bercerita harus dikuasai, yaitu:

1.         Direct Story (cerita langsung, tanpa naskah)
Cerita yang disampaikan secara langsung, tanpa menggunakan naskah. Bercerita di panggung dengan jumlah anak yang banyak, lebih sering menggunakan teknik ini. Yang diperlukan dalam cerita ini adalah persiapan dan pemahaman pada alur cerita yang akan dibawakan. Karena cerita ini tanpa menggunakan naskah, maka pengorganisasian cerita diperlukan agar cerita tidak terkesan berputar-putar dan bisa lebih dinikmati.
2.         Story reading (membaca cerita)
Cerita yang disampaikan dengan membacakan buku cerita. Pencerita bisa menunjukkan tokoh-tokoh cerita yang ada dalam buku itu, sambil mengenalkan benda-benda yang terdapat dalam gambar.

C.   Jenis Bercerita
       Sebelum seseorang bercerita, ia harus memahami terlebih dahulu jenis cerita apa yang hendak disampaikannya. Memang, cerita banyak sekali macamnya. Tentu saja masing-masing jenis cerita mempunyai karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, agar dapat bercerita dengan tepat harus menentukan jenis ceritanya terlebih dahulu. Pemilihan jenis cerita menurut Tim Pendongeng SPA (2010:23) antara lain adalah: (1) tingkat usia pendengar, (2) jumlah pendengar, (3) tingkat heterogenitas pendengar, (4) tujuan penyampaian materi, (5) suasana acara, (6) situasi dan kondisi pendengar.

1.         Tingkat usia pendengar
                   Dalam menyampaikan sebuah cerita, terlebih dahulu harus mengetahui rata-rata tingkatan usia para pendengar, misalnya anak usia 5 - 9 tahun, cenderung menyukai jenis cerita yang bertema imajinasi, kemudian pada anak usia 9 tahun keatas lebih menyukai jenis cerita bertema petualangan, keteladan, dan kepahlawanan.

2.         Jumlah pendengar
Sebelum membawakan sebuah cerita, seseorang dituntut untuk mengetahui berapa banyak kapasitas pendengar. Untuk cerita dengan jumlah anak kurang dari 10 cerita dapat dibawakan dengan teknik story reading, untuk jumlah 11 – 50 anak dapat menggunakan peraga kecil untuk bercerita misalnya: boneka, wayang, dan  lain-lain. Jika jumlah anak 51 – 100 anak,  dengan peraga besar (kostum) dan untuk jumlah anak yang lebih dari 100, cerita dapat dibawakan tanpa alat peraga tetapi dituntut totalitas.

3.         Tingkat heterogenitas (keragaman) pendengar
Pendengar cerita yang bersifat heterogen dari tingkat usia yang bervariasi misalnya dari usia play group sampai SD kelas 6 tentunya akan menuntut cerita yang berbeda jika dibandingkan dengan usia yang relatif setara. Bila pendengarnya relatif heterogen, maka hendaklah dipilih cerita yang pas untuk mereka. Misalnya: cerita tentang petualangan yang dibumbui dengan humor yang kental, dan lain sebagainya.

4.         Tujuan penyampaian materi
Cerita merupakan suatu metode pendidikan yang fleksibel, yang bisa digunakan untuk berbagai macam tema yang akan disampaikan. Cerita bisa disampaikan untuk segala macam materi pelajaran yang ada disekolah, terutama pelajaran agama.
Seorang pencerita bisa menyesuaikan tema pelajaran dengan cerita yang akan dibawakan. Misalnya tentang kejujuran, pencerita bisa membawakan cerita tentang anak yang jujur.

5.         Suasana acara
Suasana acara sangat menentukan jenis cerita apa yang akan disampaikan. Jika pada saat itu sedang dalam suasana gembira seperti Ulang Tahun, Liburan dan lain sebagainya, maka cerita yang tepat untuk dibawakan adalah jenis cerita tentang kegembiraan dan ceritanya berakhir dengan kegembiraan. Jika acaranya hanya sekali saja, maka sebaiknya cerita tersebut langsung tuntas, tanpa membuat anak penasaran dengan akhir dari cerita tersebut.

6.         Situasi dan Kondisi Pendengar
Anak-anak yang tampaknya sudah cukup penat dan jenuh, sebaiknya cukup diberi cerita-cerita ringan yang penuh canda. Cerita serius yang sarat dengan pesan sebaiknya diberikan pada anak-anak dalam keadaan fresh. Selain itu juga harus memperhatikan rata-rata tingkat usia anak yang mendengarkan cerita.
Jenis-jenis cerita dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Menurut Tim Pendongeng SPA (2010:11) menguraikan sebuah bagan sederhana mengenai berbagai sudut pandang dan jenis-jenis cerita:
1.         Berdasarkan Pelakunya
a.         Fabel
Fabel adalah cerita tentang dunia binatang atau tumbuh-tumbuhan yang seolah-olah bisa berbicara seperti umumnya manusia. Misalnya cerita Si Kancil, Si Wortel, dan sebagainya. Cerita ini banyak digemari anak-anak di bawah usia 8 tahun.
b.        Dunia benda-benda mati
Yaitu cerita tentang benda-benda mati yang digambarkan seolah-olah seperti benda hidup. Misalnya cerita tentang Si Sepatu, Si Sandal dan sebagainya.
c.         Dunia manusia
Yaitu cerita tentang berbagai kisah manusia, baik itu kisah yang pernah terjadi maupun cerita fiktif. Tokoh-tokoh di dalam cerita ini semuanya manusia dan menggambarkan interaksi antar sesama manusia. Misalnya kisah tentang penyembelihan Nabi Ismail, Nabi Muhammad yang menggembalakan domba dan lain-lain. Jenis cerita ini cocok untuk semua usia, tergantung pada teknik penyampaiannya.
d.        Campuran dari ketiga jenis diatas
Cerita campuran atau kombinasi adalah cerita yang menggabungkan tokoh hewan, tumbuhan dan manusia. Di dalam cerita ini, manusia bisa berkomunikasi dengan hewan maupun tumbuhan, begitu juga sebaliknya. Cerita ini biasanya bertemakan tentang lingkungan sekitar.

2.         Berdasarkan Kejadiannya
a.         Cerita sejarah (tarikh)
Cerita yang mengisahkan kejadian-kejadian riil yang pernah terjadi di masa lampau. Berbagai kisah yang memang pernah terjadi, seperti kisah nabi-nabi, sahabat, para pahlawan Islam, pejuang Islam, dan sebagainya.
b.        Cerita fiksi (rekaan)
Cerita yang pada dasarnya hanya sebuah rekaan saja. Semua tokoh di luar alur ceritanya fiksi belaka. Pencerita memiliki kebebasan untuk melakukan improvisasi sebanyak yang ia mampu, baik ekspresi, gerak, suara dan lain sebagainya.
c.         Cerita fiksi sejarah
Cerita jenis ini banyak digandrungi saat ini. Yaitu cerita mengenai hal-hal yang sebenarnya fiktif belaka tetapi dikait-kaitkan dengan alur cerita sejarah sehingga berkesan seolah-olah benar-benar terjadi. Contoh cerita jenis ini adalah Brama Kumbara, Saur Sepuh, Tutur Tinular dan sebagainya.

3.         Berdasarkan Sifat Waktu Penyajiannya
a.         Cerita bersambung
Cerita dengan tokoh yang sama, dalam sebuah rangkaian cerita yang panjang, tetapi dikisahkan dalam beberapa kali kesempatan.
b.        Cerita serial
Cerita dengan tokoh utama yang sama, tetapi tiap episode kisahnya dituntaskan. Kelebihan cerita jenis ini adalah kekayaan kemungkinan untuk menggarap berbagai aspek kehidupan. Kesulitannya adalah membutuhkan kreativitas dan ide cerita yang kaya.
c.         Cerita lepas
Cerita dengan tokoh dan alur cerita yang lepas, langsung dituntaskan dalam sekali pertemuan. Kelebihan jenis cerita ini adalah tidak adanya keterikatan pada kisah dan karakter cerita-cerita sebelumnya, sehingga lebih bebas dan leluasa untuk menghadirkan tokoh dan alur yang baru. Kesulitannya terutama pada keterbatasan waktu sehingga cerita harus tuntas dalam sekali pertemuan.
d.        Cerita sisipan
Cerita yang pendek saja, dan kisahnya tidak ada hubungannya dengan materi pembelajaran yang disampaikan pada kesempatan itu. Karena cerita ini bersifat sisipan, maka cerita ini tidak memerlukan banyak waktu. Cerita ini bertujuan untuk menyegarkan kembali perhatian seswa dalam kelas, sehingga siap untuk mengikuti materi selanjutnya.
e.         Cerita ilustrasi
Cerita yang disampaikan untuk memperkuat penyampaian suatu materi tertentu atau nasehat dan nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada anak-anak.

4.         Berdasarkan Sifat dan Jumlah Pendengarnya
a.         Cerita Privat
1)   Cerita pengantar tidur
Cerita yang disampaikan untuk mengantarkan tidur anak-anak kita. Untuk menyampaikan cerita pengantar tidur ini hendaknya disampaikan sesederhana mungkin, sehingga anak mampu meresapi maksud dari ceritanya. Cerita yang sering digunakan biasanya cerita yang memiliki akhir bahagia “happy ending”.
2)   Cerita lingkaran pribadi
Cerita yang disampaikan dengan jumlah anak yang relatif sedikit. Untuk membawakan cerita ini tidak perlu dengan menggunakan gerakan-gerakan yang berlebihan, seperti meloncat, berlari dan lain sebagainya.
b.        Cerita Kelas
1)   Kelas kecil
Untuk cerita dalam kelas kecil ini biasanya jumlah anak tidak lebih dari 20 anak.
2)   Kelas besar
Cerita kelas bisa dikatakan kelas besar jika jumlah anak mencapai 21 – 40 anak.
c.    Cerita Massal (forum terbuka)
Cerita yang disampaikan dengan jumlah anak yang banyak, tidak hanya ratusan bahkan ribuan anak. Dalam cerita massal inilah dibutuhkan totalitas dan keterampilan bercerita yang perlu diasah dan dilatih terus, terutama bagaimana cara mengatasi audiens.
Oleh sebab itu, bila penyajian cerita ingin mencapai sasarannya, sejak semula harus mempertimbangkannya secara seksama. Sebab, masing-masing jenis cerita membutuhkan teknik, gaya dan pendekatan yang berbeda. Selain itu, pemahaman yang mendalam akan jenis dan karakter pendengar (audience) juga sangat dibutuhkan.
D.  Media Bercerita
Dalam kegiatan bercerita, perlu adanya suatu rencana untuk menentukan media yang akan digunakan. Tim Pendongeng SPA (2010:21) mengemukakan pendapatnya bahwa media bercerita diklasifikasikan menjadi dua, meliputi: (1) bercerita dengan alat peraga, merupakan cara bercerita yang dilakukan dengan menggunakan alat seperti: boneka tangan, boneka jari, flanel, wayang, dan lain-lain, (2) bercerita tanpa alat peraga, merupakan cara bercerita yang dilakukan tanpa menggunakan alat peraga dan lebih mengoptimalkan seluruh anggota tubuh, mimik muka, ekspesi, suara dan lain-lain.

E.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bercerita
Pemilihan jenis cerita sangat berpengaruh pada teknik penyajiannya. Karena setiap cerita mempunyai gaya, gerak, teknik dan pendekatan yang berbeda-beda oleh karenanya pemahaman yang mendalam tentang jenis dan karakter pendengar juga sangat dibutuhkan. Tim Pendongeng SPA (2010:27) mengutarakan bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam bercerita, ada dua faktor pokok yang harus diperhatikan dalam bercerita, adalah: (1) naskah, skenario atau setidaknya sinopsis, (2) teknik penyajian.

1.    Naskah, skenario atau setidaknya sinopsis (kerangka cerita).
a.         Menyiapkan naskah cerita
1)        Dari sumber cerita yang telah ada
Seorang pendidik yang akan bercerita pasti harus menentukan terlebih dahulu gambaran jalan ceritanya. Ia bisa saja mengambil dari buku, majalah atau komik tertentu. Bila langkah ini yang diambil maka pendidik itu menggunakan sumber cerita yang sudah ada.
Nah, bila sudah yakin benar atas pilihan ceritanya maka seorang pencerita harus melanjutkannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)        Memilih naskah cerita yang tepat
b)        Mengubah naskah itu dari bahasa tulis ke bahasa lisan. Ingatlah, naskah itu tidak hanya bagus untuk dibaca tetapi harus menarik untuk dibacakan.
c)        Membaca atau menghafalkan naskah itu berulang-ulang sampai menguasai alur, setting, nama-nama tokoh, dan lain-lain.
d)       Menyiapkan bumbu-bumbu ( bila perlu ditulis di naskah )
b.  Mengarang cerita sendiri
Bila seorang pencerita hendak membuat naskah sendiri, maka yang terpenting ia harus menentukan terlebih dahulu alur atau plot cerita. Bisa dalam bentuk karangan atau bagan atau sinopsis, bisa pula tertulis secara lengkap seperti tergambar diatas, harus ditulis dengan gaya bahasa lisan.




2.    Teknik penyajian.
Bila faktor naskah sudah ‘beres’ maka faktor kedua yang akan menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam bercerita adalah faktor teknis penyajiannya. Seorang pencerita harus pandai-pandai mengembangkan berbagai unsur penyajian cerita sehingga terjadi harmoni yang tepat. Secara garis besar unsur-unsur penyajian cerita yang harus dikombinasikan secara proporsional adalah sebagai berikut:
a.    Narasi (pemaparan cerita)
b.    Dialog (percakapan para tokoh)
c.    Ekspresi (terutama mimik muka)
d.   Visualisasi gerak/peragaan (acting)
e.    Ilustrasi suara, suara lazim & tak lazim:
1)        suara asli
2)        suara besar dan suara kecil
3)        suara hewan
4)        suara kendaraan, dll
f.     Media atau alat peraga jika ada
g.    Teknik ilustrasi yang lain (jika ada, misalnya musik, permainan, lagu, dll
Untuk mampu menguasai aspek-aspek keterampilan teknis dari unsur penyajian bercerita, tentu saja membutuhkan persiapan yang baik. Selain itu, keluwesan dalam bercerita sehingga berbagai unsur di atas dapat tersaji secara padu hanya dapat dikuasai dengan pengalaman dan latihan-latihan yang tekun.

F.   Indikator dalam Penilaian Bercerita
Setiap kegiatan pembelajaran perlu diadakan penilaian termasuk dalam pembelajaran kegiatan berbahasa dalam hal ini khususnya adalah keterampilan bercerita. Burhan Nurgiyantoro (2011:410) mengemukakan beberapa aspek bercerita yang perlu dinilai meliputi (1) ketepatan isi cerita, (2) ketepatan penunjukkan detil cerita, (3) ketepatan logika cerita, (4) ketepatan makna seluruh cerita, (5) ketepatan kata, (6) ketepatan kalimat, dan (7) kelancaran. Berikut adalah contoh rubrik penilaian dalam bercerita:
No.
Aspek yang Dinilai
Tingkat Capaian Kinerja
1
2
3
4
5
1.
Ketepatan isi cerita





2.
Ketepatan penunjukan detail cerita





3.
Ketepatan logika cerita





4.
Ketepatan makna keseluruhan cerita





5.
Ketepatan kata





6.
Ketepatan kalimat





7.
Kelancaran






Jumlah Skor       :













Berbagai aspek penilaian yang dikemukakan dalam rubrik tersebut dapat  diterangkan bahwa pada penilaian ketepatan isi, detil, logika serta makna keseluruhan cerita, pada pada prinsipnya terletak pada seberapa besar tingkat pemahaman cerita yang telah dikuasai oleh peserta didik. Maksudnya adalah, apakah peserta didik dapat menyampaikan ungkapan-ungkapan serta perasaan dari cerita yang dibawakannya, sesuai dengan isi yang terkandung dalam cerita tersebut. Tingkat pemahaman dari peserta didik dapat diketahui dengan memperhatikan ucapan atau kata-kata yang diungkapkan melalui kalimat yang dilisankan secara langsung pada saat praktik bercerita.
Pada hakikatnya untuk penentuan aspek-aspek yang dinilai dapat dibuat sendiri oleh seorang penilai atau guru tergantung pada keyakinan sendiri, tetapi harus menyangkut unsur isi pesan dan bahasa.




BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita merupakan media yang amat efektif untuk menyampaikan misi pendidikan dan untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam sanubari anak. Dapat dikatakan bahwa bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam ungkapan & berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca.
Kemudian terdapat beberapa teknik penyampaian cerita yaitu: Story reading (membaca cerita), dan  Direct Story (cerita langsung, tanpa naskah). Pemilihan jenis cerita juga dapat ditentukan berdasarkan: tingkat usia pendengar, jumlah pendengar, tingkat heterogenitas (keragaman) pendengar, tujuan penyampaian materi, suasana acara, serta situasi, dan kondisi pendengar.
Untuk indikator dalam penilaian bercerita meliputi (1) ketepatan isi cerita, (2) ketepatan penunjukkan detil cerita, (3) ketepatan logika cerita, (4) ketepatan makna seluruh cerita, (5) ketepatan kata, (6) ketepatan kalimat, dan (7) kelancaran.









DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 2011. “Penilaian Pembelajaran Bahasa” Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Tim Pendongeng SPA (Silaturahim Pecinta Anak-anak) Yogyakarta. 2010. Teknik Bercerita. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta

































15
LAMPIRAN
























16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar